MBAH SIS, PENJAJA BATIK TERTUA DI BERINGHARJO

Yogyakarta, 27 December 2016 Tiga tahun yang lalu adalah pertemuan pertama kami dengan mereka. Dua orang wanita tua berjaga di kios petak 2 x 1 meter, di dalam pasar Beringharjo. Keduanya sudah cukup berumur. Di kios kecil itu, bertumpuk batik berwarna sogan (cokelat) dengan motif parang dan kawung berbagai ukuran. Satu dari ciri khas batik yang di hasilkan di daerah Bantul.

      Hari ini kami kembali ke pasar yang berada di ujung Jalan Malioboro itu. Suasana sangat ramai karena masih dalam rangkaian libur tahun baru. Pasar ramai tapi bersih. Semua orang tampaknya memaklumi kalau harus berjejal-jejalan dan bermandikan peluh. Anak kami yang awalnya memberontak pun akhirnya pasrah tidur di gendongan ibunya.  Kios batik mbatulan yang tiga tahun lalu kami kunjungi masih ada di tempatnya. Tidak banyak yang berbeda. Batik mbantulan berwarna coklat dan biru bertumpuk rapi. Kios daster warna warni di sampingnya tidak mengurangi keindahan batik bantulan berwarna monochrome. Bersahaja namun indah. Seorang wanita tua berjaga di kios itu dibantu dengan seorang wanita yang lebih muda.

       Namanya, Mbah Sis. Ia berusia 87 tahun. Tiga tahun yang lalu dia dan kakaknya masih melayani kami. Kini kakaknya sudah meninggal. Tinggalah Mbah Sis ditemani anaknya yang ke empat. Dia tidak ingat kapan tepatnya mulai berjualan. Yang jelas sebelum menikah. Sebelum pasang Beringharjo dipugar. Yang pasti sudah lebih dari 50 tahun. Kini dia menjadi pedagang batik yang paling tua di pasar Beringharjo. Teman-teman sebayanya sudah meninggal sedangkan yang masih ada sudah tidak kuat lagi berjualan. Setiap pagi dia berangkat dari rumah diantar becak ke pasar. Jam 10 pagi kiosnya sudah buka. Jam 4 sore kios sudah harus ditutup. Alasannya sederhana, karena lewat jam 4 sore susah sekali mencari becak yang masih beroperasi. “ Ngopo mbo foto, aku ki elek, wis tuwo”. Untuk apa kamu foto, saya ini jelek, sudah tua. Begitu katanya ketika kami meminta ijin untuk mengambil foto dirinya. Tapi akhirnya dia pun setuju untuk memberikan senyum terbaiknya untuk difoto.

        Di usianya yang senja dia masih lincah melayani pembeli. Menjaga kios dari pukul 10 sampai 4 sore. Memorinya masih tajam dalam mengingat stock dan motif batik yang tersedia. Satu - satunya anak perempuan dari kelima anaknya menemaninya untuk membantu pembeli ketika sedang ramai-ramainya. Sistem transaksi tidak berubah dari dahulu. Tidak ada nomor telepon atau nomor WA yang bisa kami hubungi untuk melakukan transaksi online. Proses tawar menawar dilakukan di tempat. Tidak ada mesin EDC sehingga pembayaran pun dilakukan menggunakan uang cash. Lumayan merepotkan karena ATM terdekat berada di luar pasar Beringharjo. Pun sistem pembukuan masih dilakukan manual. Walaupun anaknya memiliki buku catatan, dia juga memiliki buku catatan sendiri untuk mencatat transaksi setiap harinya. Tujuannya agar otaknya terus berpikir dan bekerja. Uang hasil penjualan dia lipat sekenanya di dalam kresek kecil berwarna putih untuk kemudian dia selipkan ke balik stagennya. Kapan pensiun mbah. “Nek awakku wis ora kuat”. Kalau badanku sudah tidak kuat. Begitu jawabnya singkat sambil tersenyum. Yang sehat ya mbah. Tahun depan kami kembali lagi.