Kisah Pengrajin Batik Cirebon
Batik yang JengSis kenakan sehari-hari amat berarti bagi para pembuatnya. Bagi mereka, membatik adalah sebuah berkah yang meneruskan kelangsungan mata pencaharian. Pak Ikmal adalah satu dari banyak pengrajin yang menggantungkan pendapatannya pada membatik. Dari sebuah rumah kecil di Cirebon, saksi bisu hasil rintisan usaha Pak Ikmal, kami mengajak JengSis mengenal salah satu rekan Nona Rara Batik.
Bisnis Pak Ikmal dimulai dari keisengan memotret kain yang diproduksi di tempat ia bekerja dulu dan mengunggahnya ke akun facebook untuk dijual. Perjalanan Pak Ikmal didukung sebuah keinginan sederhana, ia ingin menjadi lebih kaya dan memiliki penghasilan lebih untuk memikat perempuan pujaannya. Usahanya menarik beberapa peminat dan penjualan terus bergulir, hingga berkembang ke sosial media Instagram yang membuat bisnisnya makin dikenal oleh berbagai kalangan.
Tak cukup puas menjadi seorang penjual, Pak Ikmal mencoba peruntungan dengan mencoba memproduksi batik sendiri, berbekal ilmu yang ia pelajari di tempat kerja sebelumnya. Kini, Pak Ikmal mempekerjakan 19 pembatik. Seperti kebanyakan pembatik, proses pembuatan batik tulis dan colet dikerjakan oleh para ibu-ibu dan batik cap dibuat oleh para lelaki laki-laki. Hingga kini, Pak Ikmal mampu membeli dua rumah, satu untuk tempat produksi kain batik dan satu lagi sebagai tempat tinggal.
Di tengah-tengah perjuangan bisnis, pandemi datang dan membuat penghasilan Pak Ikmal menurun drastis. Selama beberapa bulan di awal pandemi, jumlah pesanan bahkan sempat nol. Akan tetapi, ia tak lantas menyerah begitu saja. Pak Ikmal tetap menerima beberapa pesanan walau jumlahnya hanya dalam hitungan jari. Syukurlah, beberapa bulan terakhir ini, pemasukan mulai kembali mengalir seiring adanya pesanan, termasuk dari Nona Rara Batik.
Di antara karyawan Pak Ikmal, ada anggota keluarga yang turut membantu keberlangsungan bisnisnya. Salah satu keponakannya, selepas sekolah membantu Pak Ikmal, menangani proses ‘ngelorod’ atau pelarutan lilin malam menggunakan air panas. Dua keponakan lainnya yang masih duduk di bangku sekolah juga turut membantu proses mencolet. Karena sekolah masih dilakukan dari rumah, membatik menjadi kegiatan tambahan bagi keponakannya.
Meskipun karyawan yang dimilikinya cukup banyak, Pak Ikmal terkadang masih turun tangan dalam proses pembuatan kain batik. Ketika ditemui, Pak Ikmal tengah mencelup warna merah dan hitam. “Rasanya kurang afdol kalau nggak pegang prosesnya.” jawab Pak Ikmal dengan santai. Selain itu ia juga mengatakan keterlibatan dirinya pada proses pembuatan batik itu guna memberikan kualitas terbaik berdasarkan standar yang dijanjikan kepada para pembeli.
Tangan Pak Ikmal usai mewarnai dalam proses membatik.
Salah satu pembatik Pak Ikmal adalah Mbak Pipit, yang menganggap pekerjaan membatik ini menyenangkan karena fleksibel dan tidak terikat waktu. “Lebih enak membatik, (kita) bisa nentuin sendiri jam kerjanya.”
Tiga tahun lalu, Pipit bekerja di perusahaan pengrajin rotan, tetapi pada akhirnya dia memilih berhenti karena tidak kuat dengan jadwal shifting. Kini, jam kerjanya adalah masuk sekitar jam 9 lalu pulang setelah ashar. Kalau masih ingin terus membatik, kain bisa dibawa pulang dan dilanjutkan di rumah. Hari Minggu, pembatik libur.
Mbak Pipit ketika ditemui hendak membatik.
Begitupun dengan Ibu Mia, pembatik Pak Ikmal yang lain, yang pernah bekerja di industri rotan. Sama seperti Mbak Pipit, dia juga menganggap pekerjaan membatik ini menyenangkan, “(Membatik) Enak. Bisa duduk bercanda bersama teman, dibayar lagi,” kata Mia sambil terkekeh. Selesai mencolet, ia berdiri. “Ya. Dapat lagi!” ujarnya bahagia seraya berjalan membawa kain karyanya ke jemuran. Dengan memakai batik, JengSis turut melestarikan budaya Indonesia sekaligus membantu para pengrajin batik untuk terus berkarya sembari memutar roda perekonomian.
Ketika ditanya apa yang bisa membuat senang pembatik? Ibu Mia dengan antusias menjawab, “Orderan! Senang kalau ada kerjaan.”