Batik Butuh Waktu - Hari Batik 2023
Masihkah kamu ingat batik pertamamu?
Batik pertama saya adalah sebuah rok mini denim putih dengan sablonan ragam hias batik parang. Bersamanya, saya membeli kaus yang disablon pola batik pada bagian dada atas. Keduanya saya beli di kios-kios kecil di Pasar Grosir Solo. Ketika itu, saya cukup berbangga punya uang untuk membeli batik, terutama di salah satu kota asalnya. Itu sebuah pecapaian karena batik punya reputasi sebagai baju karya bangsa. Kebanggaan pencapaian lainnya adalah mendapatkan pakaian batik yang modern, trendi, dan tidak perlu dipakai ke acara formal. Ketika itu, saya cukup senang batik telah berevolusi dan saya bisa memakainya di kehidupan sehari-hari.
Langsung jadi model, 2009.
Tak lama dari itu, saya kembali mampir ke Pekalongan dan berjalan-jalan di lorong-lorong kauman. Tidak familiar dengan budaya batik selain yang dijelaskan di Museum Batik, Pekalongan, saya baru tahu kalau kauman adalah area pembuatan batik. Di balik rumah-rumah dengan pintu dan jendela kayu warna-warni ternyata tempatnya batik ditulis, dicap, diwarna, direbus, dijemur, dan dikemas. Umumnya kita mendapati ruang tamu rumah yang disulap menjadi toko kecil siap menjual batik. Di situ saya membeli rok batik maxi warna hijau-biru ladus yang masih saya pakai hingga kini. Harganya lebih mahal dari rok denim dan kaus sebelumnya, tetapi rasa senang membelinya dari pembuatnya dan ngobrol sore belajar tentang batik, melampaui harganya.
Belanja batik di rumah pembuatnya, 2009.
Beberapa waktu kemudian, batik ditetapkan sebagai warisan budaya luhur tak benda Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Terjadi geger budaya karena tiba-tiba semua harus serba batik. Ternyata, Indonesia juga gagap karena tidak semua orang fasih mendefinisikan batik ataupun bisa membedakannya dari tekstil meteran dengan ragam hias batik. Ketika itu, rasanya batik dilahirkan kembali di masyarakat Indonesia.
Saya pun kembali memperhatikan kembali baju-baju batik saya. Apa yang saya percaya sebagai batik, setelah ditilik, ternyata sablonan biasa. Hanya ragam hiasnya saja yang batik. Kenyataannya denim tidak bisa dibatik dengan sembarangan, lilinnya tidak akan menempel, apalagi dibandrol dengan harga terjangkau. Begitupun kaus yang saya beli dengan ragam hias yang sekarang sudah ngeletek. Sudah dipastikan bukan batik karena pewarnaannya tidak melibatkan lilin. Kebanggaan saya membeli batik beberapa tahun sebelumnya ternyata kebodohan saya yang tidak paham definisinya; asbun mengatakannya batik.
Namun, rok maxi batik saya, kemungkinan batik. Dibeli dari keluarga dengan rumah yang halaman belakangnya memiliki alat semua proses pembatikan. Warnanya hingga kini masih sama, mungkin sedikit pudar karena dicuci pakai deterjen biasa. Ternyata harga lebih mahal sedikit tidak membohongi kualitasnya. Sejak saat itu, saya sangat berhati-hati membeli batik, agar tidak terjebak kepraktisan melihat pola hias batik semata. Dan, semenjak itu perjalanan saya membawa saya selalu bersinggungan dengan dunia batik.
Semakin banyak berinteraksi dengan pengrajin dan dunia batik, mata saya makin terlatih melihat batik yang cantik. Tak hanya memahami proses dan ciri-ciri batik asli, saya belajar tentang keterampilan membatik dan cita rasanya. Penuh dekorasi tidak berarti lebih mahal, dan batik dengan garis sederhana tidak berarti murah. Batik dekoratif, pada taraf tertinggi bahkan terlihat seperti dikerjakan oleh mesin. Saya juga banyak belajar dari para ahli batik, terutama dari mereka yang bekerja di museum dan di bidang wastra secara umum.
Selama tiga tahun terakhir ini, saya bahkan terjun ke industrinya, menjual batik dengan Nona Rara Batik. Terlalu banyak yang saya pelajari dan tidak habis rasa terima kasih saya pada Nona Rara. Pengalaman ini juga menjadi berharga sekali karena saya mencapai lingkaran hampir penuh dalam perjalanan batik saya. Dari pembeli, pengamat, dan penjual. Yang belum kejadian sampai sekarang adalah membuat batik. Saya pernah mencoba, tetapi tidak berbakat. Proses ini saya titipkan pada ahlinya saja. Hingga titik ini, saya belajar mencintai dan menghormatinya, bahkan di luar batas sebagai warisan tak benda Indonesia.
Salah satu kampanye awal bersama Nona Rara Batik, 2021.
The most important thing I've learned is batik is all about process.
Tak hanya di pembuatannya, kain batik dan wastra pada umumnya perlu proses agar bisa sampai ke tangan penggunanya. Warga Indonesia pun perlu proses untuk bisa menikmati wastra; dari asbun, mengenali, dan mencintai. Sebagai penikmat, saya butuh bertahun-tahun dan berkilometer perjalanan hingga titik ini. Semuanya butuh waktu.
Waktu untuk mengerti bahwa ini adalah keterampilan turun temurun tanpa ada buku yang mengajarkan keterampilannya. Waktu untuk mengerti ada banyak faktor eksternal dalam pembuatan selembar kain batik seperti keadaan cuaca, keadaan panen sawah, atau tengah musim kawin sehingga proses pembuatannya ditunda dulu. Waktu untuk memilih dengan benar ragam hias apa yang ingin dan harus digunakan. Juga waktu untuk menabung, karena selembar kain cantik biasanya sebanding dengan harganya.
Saya tidak khawatir batik akan dimakan masa, juga tidak khawatir Nona Rara Batik akan surut dalam waktu dekat. Karena akan selalu ada masyarakat Indonesia yang akhirnya akan kembali ke kebijakan, keindahan, dan kenyamanan menggunakan batik. Yang dibutuhkan batik hanya waktu.
Selamat Hari Batik 2023. Selamat berproses untuk mencintai batik. - Murni
Catatan: Tulisan ini adalah kenang-kenangan saya untuk Nona Rara setelah bekerja selama 3 tahun bersama brand ini.